10 Sebut Tentang Laut i Tuhan yang pemurah telah menjadikanmu sebentuk wadah menampung gelembung air juga gelombang pasangyang sanggup merauppesisir ii langit pun riang berkaca padamu maka teranglah biru biru serupa waktu mencumbu dalam matamu iii jemarimu adalah ombak melepas kesabaran riak meretas beribu tahun jarak semenjak kau ikhlas terbelah oleh tongkat sebilah jalan bagi sang mualim membenamkan raja lalim iv kemudian pagi menjadi lantunan selepas subuh yang kau deburkan sementara ikanikan masih bergelungmenetaskan liur dalam palung sedang para kepiting dan kerang mengintip dalam remang bayang membasuh mimpimimpi terlarang pada putih cahaya siang v lalu senja yang kau tunggu memaut selembar ragu ragu yang menjalardi selasar pasirmu ketika ombak bersandar dengan rindu mendebar di situ vi hingga petang datang menggelar sebentang remang kau menggigil riuh memanggil maka turunlah kabut putih pun seketika memaut vii lalu kunangkunang bertahmid mengitarimu berkumandanglah tabik munzil darimu viii magrib yang selalu tertib menyapamu seikrab karib gelombangmu susut engkau bersujud rembulan telah serupa emas engkau pun berkemas ruh cahaya terlepas ix kini pantaimu senyap bintang menjatuhimu sekejap kerlap relungrelung karang sunyi ombakmu menyusutkan mimpi Kadang-kadang aspek yang paling penting dari subjek tidak segera jelas. Jauhkan membaca untuk mendapatkan gambaran yang lengkap.
x hingga subuh menggeliat langkahmu pun bersijingkat melarungkan beribu sholawat melabuhkannya ke liang-liang lahat Jakarta, Desember 2010 (Muharam 1432 H) Menanti hujan jatuh di kali dari penghujung pancaroba. dengan terik mencekik dahaga. aku juga ternak lainnya turutmendatangi lubukmu yang telah menyusut hanya tanah hening dan bebatuan kering. yang telah lamaditinggalkan lumut kesiur angin mengabarimu. langgam sedih dedaun bambu. danseekor ular hijau meliuk-liuk mencari basah yang tak lagi bersuluk di lekuk tubuhmu oh, betapa aku menjadi sedih. seperti kuncup pagi yang tak lagi terkecup bibir kabut. seperti tangan maut yang tiba-tiba merenggut segalayang masih luput. maka di ambang pagi ini kudatangi lagi lubukmu yang semakinmenyusut dengan langkah-langkahku yang selamban siput memanggili subuh dengan seribu qunut, agar langit disana segera menimba laut. Jakarta, Februari 2011 (Shafar 1432 H) Blitar buluh bambu berbatang-batang air kali menyengguh akar ilalang maka hijau berlabuh di padang putik meranti juga kecubung mekar debu-debu terketap di latar di pematang orang-orang berselendang pelangi di ladang sepotong senja bernyanyi di alun-alun kota sepasang beringin tua melambai pada sais tua yang menghela kuda menuju utara dimana tanah-tanah meninggi memantap diri jadi tangga menuju atap candi perempuan-perempuan berkebaya dengan selendang terselempang di dadanya menyimpan harum tembang dalam gelungan menggegaskan tapak kakinya yang telanjang menuju selatan dimana angin dan kamboja rekat bercakap di depan pintu pasarehan kini matahari lingsir di tapal batas pagar rumahku adalah beluntas langkahku menujumu belumlah tuntas Jakarta, Mei 2011 (Jumadil Akhir 1432 H) Biodata penulis: Lailatul Kiptiyah lahir di Blitar 20 Juli 1975 kini bekerja di rumah produksi di Jakarta
x hingga subuh menggeliat langkahmu pun bersijingkat melarungkan beribu sholawat melabuhkannya ke liang-liang lahat Jakarta, Desember 2010 (Muharam 1432 H) Menanti hujan jatuh di kali dari penghujung pancaroba. dengan terik mencekik dahaga. aku juga ternak lainnya turutmendatangi lubukmu yang telah menyusut hanya tanah hening dan bebatuan kering. yang telah lamaditinggalkan lumut kesiur angin mengabarimu. langgam sedih dedaun bambu. danseekor ular hijau meliuk-liuk mencari basah yang tak lagi bersuluk di lekuk tubuhmu oh, betapa aku menjadi sedih. seperti kuncup pagi yang tak lagi terkecup bibir kabut. seperti tangan maut yang tiba-tiba merenggut segalayang masih luput. maka di ambang pagi ini kudatangi lagi lubukmu yang semakinmenyusut dengan langkah-langkahku yang selamban siput memanggili subuh dengan seribu qunut, agar langit disana segera menimba laut. Jakarta, Februari 2011 (Shafar 1432 H) Blitar buluh bambu berbatang-batang air kali menyengguh akar ilalang maka hijau berlabuh di padang putik meranti juga kecubung mekar debu-debu terketap di latar di pematang orang-orang berselendang pelangi di ladang sepotong senja bernyanyi di alun-alun kota sepasang beringin tua melambai pada sais tua yang menghela kuda menuju utara dimana tanah-tanah meninggi memantap diri jadi tangga menuju atap candi perempuan-perempuan berkebaya dengan selendang terselempang di dadanya menyimpan harum tembang dalam gelungan menggegaskan tapak kakinya yang telanjang menuju selatan dimana angin dan kamboja rekat bercakap di depan pintu pasarehan kini matahari lingsir di tapal batas pagar rumahku adalah beluntas langkahku menujumu belumlah tuntas Jakarta, Mei 2011 (Jumadil Akhir 1432 H) Biodata penulis: Lailatul Kiptiyah lahir di Blitar 20 Juli 1975 kini bekerja di rumah produksi di Jakarta
No comments:
Post a Comment