Thursday, September 29, 2011

Mendongkrak Pendapatan, Memastikan Keadilan

Artikel berikut menyajikan informasi yang sangat terbaru tentang
. Jika Anda memiliki minat khusus dalam
, maka artikel ini informatif diperlukan membaca.

Oleh Orin Basuki

MungkinAnda akan menjadi salah satu yang didatangi petugas sensus pajak hariini. Sensus Pajak Nasional mulai 30 September hingga akhir November 2011menyasar 1,5 juta wajib pajak. Kementerian Keuangan menjanjikan sensusini lebih untuk menggali data dasar dan memberi penyuluhan.

SensusPajak Nasional (SPN) 2011 dilakukan demi mengejar target kenaikanpenerimaan pajak menjadi 79 persen dari total pendapatan negara tahun2012. Jumlahnya Rp 1.024,3 triliun, termasuk penerimaan kepabeanan dancukai serta kenaikan Rp 5 triliun yang ditetapkan Komisi XI DPR pekanlalu.

Indonesia melalui empat perubahan mendasar perpajakan, yaknitahun 1984, 1994, 2000, dan 2005. Tonggak reformasi perpajakan adalahperubahan yang dimulai tahun 1984 ketika prinsip memaksa dalampemungutan pajak (official assessment) diganti asas melaporkan sendiri(self assessment) penghasilan pajak dan pemenuhan kewajiban pajak.

Reformasi1984 hingga 2000 dianggap tidak cukup memberi keadilan kepada pembayarpajak dan memaksimalkan penerimaan negara. Karena itu, pada 2002-2005digelar reformasi lanjutan. Modernisasi pajak tersebut dilakukankomprehensif, yaitu selain mereformasi peraturan perpajakan juga secarakomprehensif dan simultan menyentuh sistem, institusi, layanan kepadawajib pajak, pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan, sertamoral, etika, dan integritas petugas pajak. Tujuannya, menekan maksimalkebocoran pajak. Apalagi, sejak 2007 penerimaan pajak harus menutup 70persen target APBN karena Indonesia ingin mengurangi ketergantungan padautang.

Lalu, apakah SPN akan mengoreksi sistem menilai sendiri atau sekadar mengejar target penerimaan pajak 2012?

Masih rendah

MenurutDirjen Pajak Fuad Rahmany, SPN bertujuan memperkuat organisasi DitjenPajak untuk dapat menarik semakin banyak pembayar pajak. Karena itu, SPNakan berlanjut pada 2012. Orang yang belum bayar pajak banyak sekali.Kami akan datangi orang yang sama sekali belum membayar pajak. Ini harusmenjadi kegiatan rutin kami, jelas Fuad.

Upaya menambah wajibpajak aktif pernah dilakukan melalui proyek Sunset Policy pada Januari2008-Februari 2009. Pemerintah membebaskan bunga dan denda administrasipajak terutang untuk wajib pajak yang mau merevisi laporan pajaknya.Hasilnya, ada 156.000 surat pemberitahuan (SPT) yang direvisi danmengalirkan tambahan penerimaan pajak Rp 6,9 triliun. Jumlah pemegangnomor pokok wajib pajak (NPWP) pun mencapai 12 juta.

Ironisnya,meski pemilik NPWP melonjak, pembayar pajak aktif tidak bertambah karenapembuat NPWP sebagian besar karyawan yang kewajiban pajaknya dilunasipemberi kerja.

Data Ditjen Pajak per 23 September 2011menunjukkan, dari 110 juta orang yang bekerja, hanya 8,5 juta yangmelaporkan SPT tahun 2010, atau 7,73 persen. Dari 12,9 juta badan usahaaktif, hanya 466.000 perusahaan (3,6 persen) melaporkan SPT. Angka itusangat rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang yangmencapai 30 persen.

Tingkat kepatuhan wajib pajak badan juga lebihrendah dari orang pribadi. Buktinya, dari 12,9 juta perusahaan yangaktif beroperasi, hanya 1.608.337 perusahaan terdaftar di Ditjen Pajak.Itu pun hanya 1.534.933 perusahaan yang wajib menyampaikan SPT karenaberbagai alasan, antara lain bukan obyek pajak di dalam negeri. Biladidalami, dari 1.534.933 perusahaan, hanya 501.348 perusahaan (32,66persen) rajin menyampaikan SPT pada 2010, turun dari tahun 2009 sebesar40,76 persen. Sementara, keseluruhan tingkat kepatuhan wajib pajak masihdi atas 58,16 persen.

Dengan sensus ini, kami ingin tingkatkepatuhan naik dari 62,5 persen pada 2011 jadi 65 persen dari jumlahwajib pajak 2012, ujar Direktur Ekstensifikasi Pajak Ditjen Pajak danKetua Pelaksana Harian SPN Hartoyo kepada Kompas pekan lalu.

Tak perlu

Setelah Anda mulai bergerak melampaui informasi latar belakang dasar, Anda mulai menyadari bahwa ada lebih banyak
dari Anda mungkin memiliki pikiran pertama.

Di sisi lain, sensus bukan satu-satunya jalan menambah jumlah pembayar pajak.

MenurutWakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan Anshari Ritonga, metode SPNsebenarnya sama saja dengan program canvasing yang dilakukan DitjenPajak sejak lama. Bedanya, SPN butuh tambahan anggaran. Kalausensus pajak tetap dilakukan, arahkan pada penguatan monografi fiskal,yakni menggambarkan jelas potensi perpajakan setiap rumah. Kenali siapapemilik rumah, pekerjaannya, penghasilannya, dan potensi pajaknya. Jikaini tidak tercapai, maka anggaran untuk sensus jadi sia-sia, ujarAnshari yang mantan Ketua Pengadilan Pajak.

Secara terpisah, WakilStaf Ahli Dewan Perwakilan Daerah Bidang Fiskal Tjip Ismail menegaskan,SPN sebenarnya tidak perlu karena ada cara yang jauh lebih efektif,yakni melaksanakan Pasal 35A Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Aturan ini menetapkan,tiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajibmemberi data dan informasi berkaitan dengan perpajakan kepada DirektoratJenderal Pajak.

Setidaknya lakukan aliran data antara lembagapemerintah dulu dan bank. Apa yang tidak bisa dilakukan pemerintah,semua ada datanya di mereka, ujar mantan Ketua Pengadilan Pajak itu.

Rasio pajak dan pembangunan

Sisipenting lain SPN dapat dilihat dari perdebatan selama ini tentang rasiopenerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) di Komisi XIDPR. Di satu sisi, Menteri Keuangan menekan target penerimaan pajakkarena untuk menambah 0,01 persen rasio pajak saja berarti harus mencarisumber penerimaan tambahan Rp 5 triliun. Di sisi lain, wakil DPRberkeras rasio pajak harus digenjot setinggi-tingginya, kalau bisasampai 15 persen, bukan 12,66 persen PDB seperti target 2012.

EkonomIman Sugema kerap mengkritik kenaikan rasio pajak karena tidak diiringipertumbuhan ekonomi yang sama tingginya, bahkan menurun. Diamenegaskan, penerimaan pajak yang tinggi ternyata berasosiasi denganpertumbuhan ekonomi yang rendah.

Imam menyebut, selama Orde Barurasio pajak mencapai 7,4 persen, tetapi perekonomian hanya tumbuh 6,1persen. Saat Gus Dur memimpin, rasio pajak 10,7 persen, tetapipertumbuhan ekonomi hanya 4,8 persen. Hal itu berulang semasapemerintahan Megawati Soekarnoputri, rasio pajak 13,5 persen, sementaraekonomi hanya tumbuh 4,2 persen.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyonomemimpin pada 2004, rasio pajak 12,2 persen, tetapi pertumbuhan ekonomihanya 5 persen. Konsumsi pemerintah adalah salah satu pendukungpertumbuhan ekonomi dan sumber energinya penerimaan pajak.

Padasaat sama, aparat pajak terus berusaha mewujudkan potensi penerimaan.Pada tahun anggaran 1993/1994, dari potensi penerimaan pajak Rp 58,43triliun, 52,2 persen (Rp 30,47 triliun) berhasil dihimpun. Lalu tahun2002, dari potensi pajak Rp 235,7 triliun sebanyak 76,4 persen (Rp 180triliun) jadi penerimaan negara. Tahun 2010, dari target Rp 606 triliun,sebanyak 98,1 persen masuk ke kas negara.

Meski begitu, potensiitu masih tercecer di berbagai tempat, antara lain pada aktivitasekonomi ilegal. Pengamat pajak Darussalam menyebutkan, nilai potensipajak yang hilang di ekonomi ilegal 39 persen dari PDB atau sekitar Rp2.730 triliun jika besar PDB Rp 7.000 triliun.

Profesor JS Uppal pada 2003 menegaskan, potensi pajak Indonesia sebenarnya tiga kali lebih besar dari penerimaan.

Dalamjurnalnya, peneliti di Kementerian Keuangan, Gunawan Setiyaji danHidayat Amir, menyebutkan, kinerja penerimaan pajak juga perlu diukurdari tax buoyancy yang mengukur elastisitas kenaikan penerimaan pajaktiap kenaikan 1 persen PDB.

Data Bank Dunia menunjukkan, taxbouyancy Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Tiapkenaikan satu persen PDB penerimaan pajak meningkat 1,8 persen.Sementara, Malaysia mencapai 1,9 persen dan negara yang situasipolitiknya rawan seperti Pakistan pun tax bouyancy mencapai 2,1 persen.

GunawanWisaksono dalam majalah dwibulanan Badan Pemeriksa Keuangan edisiFebruari-Maret 2008 menuliskan, pemerintah mengklaim kenaikan penerimaanpajak hingga lima kali lipat, tetapi kenaikan itu tidak mendongkrakrasio pajak. BPK sangat kritis ketika dipimpin Anwar Nasution karenatidak mendapat akses memeriksa Ditjen Pajak. Mereka juga geram karenatidak mendapat fakta lengkap sehingga data penerimaan pajak masihkarut-marut.

Cukup mengetahui
untuk membuat padat, memotong informasi pilihan di atas faktor ketakutan. Jika Anda menerapkan apa yang baru saja belajar tentang
, Anda seharusnya tidak perlu khawatir.

No comments:

Post a Comment